WO AINI ALLAH

Apakah Tuhan itu memang benar-benar ada? Tan Tio menanyakan hal tersebut kepada seorang muslim yang bernama Ustadz Ibnu. Ustadz Ibnu menjawab bahwa Tuhan tidak seperti apa yang ada dalam pikirannya itu. Dia adalah yang tidak nampak namun mampu kita rasakan keberadaanya. Tan Tio gusar, ia bertanya lagi. Namun jawaban yang diberikan belum mampu memantapkan hatinya untuk mempercayai keberadaan Tuhan. Ia pun memutuskan untuk menanyakan kepada pemuka agama lain. Ia pun bertanya kepada seorang Biksu yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Sang Biksu mengatakan bahwa ia datang ke rumah Tan Tio karena dibawa oleh Sang Buddha untuk mengajarinya tentang Dharma. Tan Tio tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bertanya tentang Tuhan menurut ajaran Buddha. Biksu mejelaskan dengan rinci dan seksama. Tan Tio mencerna penjelasan itu dan akhirnya ia ketakutan. Karena ia menyadari bahwa ia tidak akan bisa mencapai kebuddhaan karena sikap dan perilakunya selama ini. Ia menjadi tak karuan, bicaranya merancau. Setelah beberapa saat, istrinya, Mei Hwa pulang dan mengetahui kejadian yang baru saja dialami suaminya dan kedatangan biksu tersebut. Ia marah besar. Ia mengatakan bahwa suaminya, Tan Tio terkena Skizofrenia. Ia sedemikian marahnya karena ia hanya takut jika Tuhan yang dicari-cari Tan Tio hanya akan menyebabkan kematian di tangan seseorang yang membenci Tan Tio. Tan Tio masih belum puas dengan jawaban-jawaban ketuhanan yang diberikan kepadanya selama ini, ia mendatangi seorang penganut agama Nasrani, Fransiscus Sihombing. Ia tetap menjawabnya dengan senang hati meski Tan Tio sudah menanyakan hal yang sama berulang kali, demi menjaga nama baik di kalangan umatnya. Lagi pula ia juga tertarik dengan Amei Chan, dan ingin menjadikan Amei Chan anak angkatnya. Setelah Tan Tio selesai bertanya, tubuhnya mulai bereaksi kembali seperti saat berhadapan dengan Sang biksu tadi. Tan Tio kembali singgah di masjid. Kali ini ia berhadapan dengan Ustadz Rohim. Ia masih menanyakan hal yang sama seperti yang sudah-sudah. Ustadz Rohim pun menjelaskan dengan apa adanya. Dan tetap saja pikiran Tan Tio belum bisa mencapai apa yang diinginkan.
Tan Tio mendatangi rumah A Liong. Ia meneriakkan agar A Liong segera bertaubat. Namun ia hanya ditertawakan di sana, karena Tan Tio yang belum paham keberadaan Tuhan saja sudah menasehati untuk bertaubat. Saat adzan Subuh berkumandang, ia terbangun dan seperti mendengar seruan Tuhan untuk lekas bersujud. Mei Hwa terkejut. Amei Chan dan ayahnya masih melanjutkan perjalanan mengenal Tuhan. Pada suatu hari, Amei Chan mendapati surat kaleng peringatan tentang perilaku ayahnya yang bisa berujung kematian. Amei Chan ketakutan. Ia menyembunyikan surat itu. Pada  suatu malam ia berusaha menahan ayahnya agar tidak pergi keluar. Namun Tan Tio tetap pergi keluar. Amei Chan mencari sosok ayahnya yang telah menghilang keluar. Dan akhirnya ia menemukan ayahnya sedang bersujud di aspal jalanan. Amei Chan mengajak ayahnya untuk segera pulang, karena ia sangat ketakutan. Namun, tiba-tiba sepeda motor yang datang dari kejauhan menghantam tubuh Tan Tio. Dan ajal telah menjemput Tan Tio.
Mei Hwa menangisi kepergian Tan Tio tiada henti. Tan Tio dikremasi karena tidak tahu akan dikuburkan secara agama apa. Semua masyarakat sekitar menabahkan hati Mei Hwa. Namun Mei Hwa malah bersikap tidak karuan. Ia membakar buku-buku agama yang ia yakini sebagai penyebab kematian suaminya. Dan Amei juga masih senang untuk jalan-jalan keluar seperti yang ia lakukan dengan ayahnya dulu, namun dengan suasana yang sudah sangat berbeda. Sampai Mei Hwa marah dan sering memukuli Amei Chan. Mei Hwa sudah hampir habis kesabarannya, dan menganggap anak semata wayangnya itu gila. Sampai pada suatu hari Mei Hwa dengan tega meninggalkan Amei Chan di suatu stasiun. Amei Chan sangat ketakutan sendirian di tempat itu. Ia berjalan mencari-cari ibunya dan sedikit banyak berhalusinasi tentang keberadaan ayahnya sehingga banyak orang di sekelilingnya yang menganggap dia gila.  Namun ada seorang psikiater yang tertarik dengan perilakunya untuk dijadikan volunteernya, Hussain mendekati dan menanyakan identitasnya. Amei Chan menjawab dengan rancau. Ia pun meminta Amei Chan untuk menunggu sebentar namun dalam sekejap itu juga ia kehilangan sosok Amei Chan. Amei Chan ikut dibawa petugas keamanan karena dianggap anak jalanan. Ia pun mencari calon volunteernya itu. Ia mendatangi kantor petugas keamanan untuk mencari Amei Chan. Malangnya, Amei Chan telah kabur dari kantor itu sebelum Hussain datang. Akhirnya Hussain pulang dengan tangan hampa. Dan beruntungnya ia menemukan Amei Chan tertidur di taman bunga depan rumahnya. Ia pun membawa Amei Chan masuk.
Sementara itu di tempat lain, di desa tempat tinggal Mei Hwa. Masyarakat merasa curiga, karena akhir-akhir ini jarang melihat Amei Chan. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendatangi rumah Mei Hwa untuk menanyakan Amei Chan. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan warga tentang keberadaan Amei Chan, dan akhirnya ia mengakui semua perbuatannya kepada warga. Warga tidak menyangka dan geram terhadap perilaku Mei Hwa yang telah tega membuang anaknya sendiri. Mereka pun meninggalkan rumah Mei Hwa, dan Mei Hwa hanya bisa menangis meratapi keadaanya kini. Mei Hwa merasa frustasi dan sangat tertekan. Ia berniat untuk bunuh diri dan mencari keadilan Tuhan jika memang Tuhan itu ada. Pada suatu malam semua pemuka agam yang mengenal keluarga Mei Hwa merasa seperti ada  aura yang tidak baik di rumah Mei Hwa. Satu persatu dari mereka menengok ke rumah Mei Hwa untuk menjawab rasa penasarannya. Fransiscus mendatangi rumah Mei Hwa. Dan tidak melihat sesuatu yang janggal di rumah Mei Hwa. Akhirnya ia pulang, di tengah perjalanan ia bertemu Biksu Yan Chia yang sedang menuju rumah Mei Hwa. Ustadz rohim yang sedang berada di masjid juga mempunyai perasaan tidak enak. Biksu menemui Mei Hwa dan memintanya untuk meminta perlindungan kepada Sang Buddha. Mei Hwa menolak karena ia masih belum mempercayai akan adanya Tuhan. Biksu pun tidak bisa memaksa. Ia memberikan air suci yang mungkin bisa menolong Mei Hwa pada keadaan genting. Dan ia pergi dari rumah Mei Hwa. Pada tengah malam itu A Liong menyuruh anak buahnya untuk membawa Amei Chan ke tempatnya. Amei Chan jelas-jelas tidak ada di rumahnya. Hanya ada Mei Hwa yang sedang frustasi sendirian. Akhirnya Mei Hwa dipaksa minum racun yang dibawa oleh anak buah A Liong karena anak buah A Liong merasa kesal terhadap Mei Hwa. Dan rumahnya dibakar. A Liong memarahi anak buahnya, ia khawatir apabila Mei Hwa mati akibat racun itu. Karena A Liong sampai saat itu masih memiliki rasa cinta terhadap Mei Hwa, mantan kekasihnya dulu. Ustadz Rohim yang mendatangi rumah Mei Hwa pada saat itu pun segera membawa Mei Hwa ke rumah sakit. Sebelum Mei Hwa dibawa ke rumah sakit, ia sempat meminum air yang diberi oleh sang Biksu. Untungnya Mei Hwa tidak sampai meninggal akibat racun itu, karena air itu bisa menjadi penawarnya. Mei Hwa merasa bersyukur, karena Tuhan yang masih belum ia percayai telah memberikannya kesempatan hidup untuk yang kedua kalinya. Ia berterima kasih kepada Ustadz Rohim, dan ia tinggal di rumah Ustadz Rohim agar A Liong tidak mengetahui keberadaannya. Di rumah Ustadz Rohim ia sedikit demi sedikit belajar tentang agama. Ia ingin mengucapkan nama Allah, namun terasa sangat sulit. Yang keluar dari mulutnya hanyalah nama Amei Chan, ia merasa sangat merindukannya. Hingga ia memutusukan untuk mencari Amei Chan ke kota bersama Siti, istri Ustadz Rohim.
Di sisi lain Amei Chan masih dalam asuhan Hussain dan temannya, Amir. Amir melihat sedikit perubahan dalam diri Hussain setelah mengenal Amei Chan. Lagi pula Amir tahu bahwa Amei Chan menyukai Hussain. Padahal Hussain sudah memiliki seorang kekasih yang tak lain adalah adik keponakan Amir, Safiyah. Amei Chan merasa bersalah, dan akhirnya dia pergi dari rumah Hussain dan meninggalkan sebuah puisi permohonan maaf kepada Hussain dan Safiyah. Amei Chan tinggal di suatu masjid. Di masjid itu ia mendapat banyak pelajaran tentang ajaran agama Islam. Hingga hatinya telah terketuk untuk berucap syahadat. Ia bersujud di hadapan Allah untuk memuji-Nya. Ia juga memakai kerudung yang didapatnya dari seorang wanita musafir yang ada di amsjid itu. Hussain dan Safiyah yang telah mengetahui bahwa Amei Chan ada di suatu masjid segera menyusul Amei Chan untuk menjemputnya pulang ke rumah. Safiyah merasa sangat menyesal atas kecemburuannya selama ini kepada Amei Chan. Ia meminta maaf kepada gadis kecil itu. Dan Amei Chan dengan senang hati telah memaafkannya. Hussain mengajak Amei Chan menengok rumah ibunya. Ia telah mendapatkan alamat rumah itu dari kantor petugas keamanan, karena Mei Hwa datang ke sana beberapa hari yang lalu untuk mencari Amei Chan dan meninggalkan informasi alamat rumahnya.
Mei Hwa sudah bisa berucap syahadat. Ia pun menengok rumahnya yang sudah hampir tak tersisa lagi, untuk sekedar menyegarkan kenangannya. Ia bertemu dengan A Liong. Tak mau kehilangan kesempatan bertemu A Liong ia mengatakan kepadanya bahwa Amei Chan sebenarnya adalah anak A Liong. Dulu ia menikah dengan Tan Tio karena Tan Tio takut apabila adik kandungnya, A Liong itu tidak bertanggung jawab terhadap kehamilan Mei Hwa. Namun apa balasan A Liong kini? Ia membunuh kakaknya sendiri. Ia merasa bahwa kakaknya telah mengambil Mei Hwa, orang yang sangat dicintainya. Padahal kenyataannya Tan Tio yang berkorban. A Liong pun berlalu dari hadapan Mei Hwa karena seakan tidak percaya dengan apa yang telah dikatakan Mei Hwa. Amei Chan melihat sekelebat ibunya saat ia telah sampai di rumah lamanya. Namun ibunya menghindar pergi darinya. Di tengah penghindarannya dari Amei Chan itu sebenarnya Mei Hwa merasa bersyukur. Ia masih bisa melihat Amei Chan dalam keadaan sehat.
Kali ini Amei Chan memutuskan untuk mengunjungi rumah lamanya sendiri tanpa sepengetahuan Hussain. Akhirnya ia bisa bertemu ibunya di rumah lama itu. Mei Hwa menangis. Ia meninggalkan Amei Chan lagi demi menjaga keselamatan anaknya itu. Karena ia tahu bahwa saat itu ia sedang diburu oleh anak buah A Liong. Amei Chan pun geram. Ia ingin balas dendam kepada A Liong atas apa yang telah A Liong lakukan pada keluarganya. Sementara itu Hussain, Safiyah, dan Amir yang telah menyadari kepergian Amei Chan segera mencarinya. Ia bertemu dengan Mei Hwa. Mei Hwa menceritakan alur kehidupannya secara detail. Akhirnya mereka memutuskan untuk meminta bantuan kepada petugas keamanan untuk ikut mencari Amei Chan. Mereka takut terjadi apa-apa dengan Amei Chan. Ia mendatangi ruamh A Liong dan mendapati Amei Chan dalam keadaan tercekik. Amei Chan segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Mei Hwa menangisi Amei Chan yang sedang terkulai tak berdaya. Dan diketahui bahwa jantung Amei Chan bermasalah. Tangis Mei Hwa semakin menjadi jadi. Dan akhirnya Mei Hwa menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan tangisan untuk anaknya. Jantung Mei Hwa pun dicangkokkan ke Amei Chan. Dan keadaan Amei Chan telah pulih kembali. Amei Chan menitikkan air mata membaca surat peninggalan ibunya. Ia pun menengok ayahnya, A Liong yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Ayahnya lumpuh karena kakinya harus diamputasi. Dan akhirnya ayahnya meninggal sebelum dijatuhi eksekusi mati. Amei Chan berdiri di depan makam ayah dan ibunya. Ia ditemani Hussain, Safiyah, dan Amir yang berdiri tidak terlalu dekat dengannya. Hussain melihat Amei Chan terkulai lemas di depan makam ayah ibunya itu. Dan Amei Chan telah berpulang.

1 komentar:

Author
avatar
Reply